Senin, 14 September 2015

Pengusaha Jamu Jawa Pertama di Indonesia

Talentanya meracik aneka tumbuhan dan tanaman obat menjadi jamu justru bersinar di tengah masa pendudukan Belanda yang serba terbatas dan prihatin. Sang suami yang tak kunjung sembuh pun akhirnya sembuh berkat jamu racikannya. Berawal dari kota Semarang, usaha jamunya masuk ke ibukota dan meluas hingga ke seluruh penjuru negeri.
Usahanya itu kini bernama PT. Nyonya Meneer yang telah dianggap sebagai ikon industri nasional jamu dan kosmetik tradisional terbesar dan tertua di Tanah Air.
 Nyonya Meneer,  perempuan keturunan Tionghoa kelahiran Sidoarjo tahun 1895 ini terlahir sebagai Lauw Ping Nio.

 Nama Meneer yang disandangnya bukan karena ia adalah istri seorang meneer Belanda, melainkan berasal dari nama beras menir, yaitu sisa butir halus penumbukan padi. Saat masih berada dalam kandungan, ibunya mengidam dan memakan beras ini sehingga anak ketiga dari lima bersaudara ini kemudian diberi nama Menir. Karena pengaruh bahasa Belanda, kata menir akhirnya ditulis menjadi "Meneer". Meneer kemudian menikah dengan seorang pria asal Surabaya bernama Ong Bian Wan. Setelah menikah, ia diboyong sang suami pindah ke Semarang, Jawa Tengah.
Di awal abad-20, rakyat Indonesia berada di masa-masa yang amat memprihatinkan akibat perlakuan kejam pemerintah kolonial Belanda. Suami Nyonya Meneer pun tak luput menjadi korbannya, ia jatuh sakit dan sulit sembuh. Namun justru ketika berada di tengah keterbatasan dan keprihatinan itulah, Nyonya Meneer membuktikan bakat dan kepiawaiannya meracik jamu.
 Ternyata ramuan itu mujarab padahal berbagai pengobatan tidak mampu memulihkan kondisi suami tercinta. Setelah suaminya berhasil sembuh, ia semakin bersemangat untuk mengasah dan mempraktikan ilmu dan pengetahuan meracik jamu yang merupakan warisan dari orang tuanya. Nyonya Meneer yang ringan tangan dan sangat peduli pada orang-orang di sekitarnya ini dengan senang hati meracik jamu untuk keluarga, tetangga, kerabat maupun masyarakat sekitar yang demam, sakit kepala, masuk angin dan berbagai penyakit ringan lainnya. Sebagian besar dari mereka mengaku puas setelah merasakan khasiat jamu buatan Nyonya Meneer.
Seiring berjalannya waktu, Meneer semakin percaya diri meramu rempah-rempah dan tanaman berkhasiat lainnya. Perlahan namun pasti, jamu racikannya mulai merambah ke kota-kota lain di sekitar Semarang. Semakin banyak pula permintaan yang datang padanya untuk mengantarkan sendiri jamu racikannya itu. Kesibukan Nyonya Meneer di dapur tidak memungkinkan untuk memenuhi permintaan itu. Dengan berat hati ia minta maaf dan sebagai gantinya, ia mencantumkan fotonya pada kemasan jamu buatannya. Tak ada yang keberatan, tak ada pula yang menduga bahwa di kemudian hari, jamu dengan potret seorang  wanita ini begitu melegenda dan masih dipertahankan hingga kini sebagai simbol perusahaan. Berbekal perabotan dapur biasa, usaha keluarga ini terus memperluas daerah penjualan. Hingga akhirnya, pada tahun 1919, demi mendukung kemampuan mengagumkan ibu empat anak ini dalam menolong orang lain dengan racikan jamunya yang berkhasiat tersebut, suami dan keluarganya mendukung pendirian sebuah usaha yang dinamai "Jamu Cap Potret Nyonya Meneer" di Semarang.
Untuk memberikan pelayanan terbaik pada pelanggannya, Meneer juga membuka toko di Jalan Pedamaran 92, Semarang. Dengan bantuan anak-anaknya, perusahaan itu terus berkembang pesat. Jamu Nyonya Meneer tercatat mulai merambah pasar Jakarta saat putrinya yang bernama Nonnie pada tahun 1940 memutuskan untuk hijrah ke Jakarta dan membuka gerai Nyonya Meneer, di Jalan Juanda, Pasar Baru, yang merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi. Jamu yang tadinya muncul dari keterbatasan dan keprihatinan ini pun masuk ke ibukota dan meluas hingga ke seluruh penjuru negeri. Pada tahun 1967, Nyonya Meneer duduk sebagai  Direktur Utama, meskipun secara formal perusahaan dipercayakan kepada salah satu putranya, Hans Ramana. Sedangkan tiga anak lainnya yakni Lucy Saerang, Marie Kalalo, dan Hans Pangemanan diangkat menjadi anggota dewan komisi perusahaan. Sementara itu, untuk model manajemen masih mengikuti model yang diajarkan sang pendiri yang berorientasi pada keuntungan besar. Perusahaan juga masih menggunakan sistem pengelolaan yang sederhana dan tradisional.

 Memasuki dekade 1970-an, persaingan di industri jamu mulai ketat. Banyak pesaing Nyonya Meneer yang bermunculan di pasar. Pertarungan sengit antar produsen jamu dari segi harga, peluncuran jenis produk yang serupa, hingga pertarungan untuk memperebutkan pangsa pasar terlihat sangat kentara pada masa itu. Dua perusahaan yang merupakan pesaing agresif bagi jamu Cap Nyonya Meneer adalah PT Sido Muncul dan PT Air Mancur. Oleh sebab itu, perusahaan Jamu Cap Nyonya Meneer yang awalnya hanya mengandalkan produk minuman jamu seperti temulawak, awet ayu, dan jamu habis bersalin, lambat laun mulai melakukan diversifikasi produk agar tidak tergilas roda persaingan usaha. Untuk memperkaya varian yang sudah ada, diciptakanlah beberapa jenis produk yang lain seperti minyak pijat, pengharum badan, scrubb untuk mandi, bedak wajah, param, hingga buste cream. Produk perusahaan Nyonya Meneer sebagian besar merupakan produk untuk kepentingan  wanita. Terdapat 254 merek meliputi 120 macam produk berbentuk pil, kapsul, serbuk, dan cairan dan terbagi dalam tiga jenis, untuk perawatan tubuh, kecantikan, dan penyembuhan. Semua produk itu dipasarkan ke daerah-daerah di seluruh penjuru Tanah Air. Di tangan ibu dan anak, Nyonya Meneer dan Hans Ramana, perusahaan jamu ini berkembang pesat. Nyonya Meneer meninggal dunia di tahun 1978, menyusul kepergian putranya Hans yang meninggal terlebih dahulu pada tahun 1976. Operasional perusahaan kemudian diteruskan oleh generasi ketiga yakni kelima cucu Nyonya Meneer.

Keperkasaan dan kecemerlangan prestasi perusahaan yang mencapai usaha hampir 1 abad ini juga sempat diwarnai kisah perseteruan internal yang khas terjadi dalam sebuah perusahaan keluarga. Konflik keluarga itu berawal di tahun 1985, saat terjadi perseteruan di antara kelima orang cucu pewaris tahta perusahaan yang belakangan berubah nama menjadi PT. Nyonya Meneer itu. Imbasnya, ratusan karyawan kurang diperhatikan. Bahkan Cosmas Batubara, Menteri Tenaga Kerja saat itu ikut turun tangan menjadi penengah. Konflik kedua terjadi sejak tahun 1989 hingga 1994, yang berujung pelepasan saham anggota keluarga pada 1995.
Kini perusahaan murni dimiliki dan dikendalikan salah satu cucu Nyonya Meneer yaitu Charles Saerang. Sedangkan keempat orang saudaranya memilih untuk berpisah setelah menerima bagian masing-masing. Kasus perusahaan keluarga Nyonya Meneer itu kemudian dibukukan sebagai studi kasus, versi bahasa Inggrisnya dipublikasikan Equinox dan dipergunakan sebagai studi kasus ilmu pemasaran dan manajemen di sejumlah universitas di Amerika. Buku yang berjudul " bisnis Keluarga: Studi Kasus Nyonya Meneer, Sebagai Salah Satu Perusahaan Obat Tradisional di Indonesia yang Tersukses" (Family Business: A Case Study of Nyonya Meneer, One of Indonesia's Most Successful Traditional Medicine Companies) diluncurkan di Puri Agung, Hotel Sahid Jaya Jakarta bertepatan dengan perayaan 88 tahun berdirinya Perusahaan Nyonya Meneer.

Penerbitan buku yang menceritakan PT Nyonya Meneer dari usaha minoritas menjadi mayoritas dan konflik yang terjadi di perusahaan keluarga ini kabarnya sempat ditentang oleh keturunan Meneer karena secara jelas menceritakan strategi pemasaran produk jamu tradisional itu hingga merambah ke berbagai belahan dunia. Pada 18 Januari 1984 didirikan Museum jamu Nyonya Meneer di Semarang yang sekaligus menjadi museum jamu pertama di Indonesia.
Pendirian museum ini selain ditujukan sebagai cagar budaya, juga merupakan pusat informasi, pendidikan, promosi, serta sebagai media untuk melestarikan warisan budaya tradisional, tentang jamu yang berkhasiat dimana semua bahannya didapat dari Tanah Air. Museum yang menempati lahan seluas 150 m² ini menyimpan berbagai koleksi benda budaya tentang jamu serta koleksi pribadi Nyonya Meneer berupa foto-foto dan sejarah cara pembuatan jamu dengan menggunakan alat-alat tradisional, seperti lumpang dan alu, pepesan, cuwo, panel dan bothekan yakni tempat menyimpan resep asli ramuan jamu. Pengunjung juga dapat menyaksikan pemutaran slide tentang tata cara proses pembuatan jamu serta dapat mencoba Jamu Nyonya Meneer. Untuk mengunjungi museum yang dibagi menjadi dua bagian ini, pengunjung tidak dipungut biaya.
 Kini, PT. Nyonya Meneer telah dianggap sebagai ikon industri nasional jamu dan kosmetik tradisional terbesar dan tertua di Tanah Air. Pemasaran pun mulai dilakukan secara modern disesuaikan dengan perkembangan zaman. Salah satunya dengan mendirikan Meneer Cafe di Jalan Hasanuddin, Solo, yang saat ini sudah mulai bertebaran di beberapa pusat perbelanjaan. Perusahaan tersebut juga telah melebarkan sayapnya ke pasar internasional dengan berusaha memenuhi permintaan ekspor ke sejumlah negara. Pada tahun 2006, PT Nyonya Meneer berhasil memperluas pemasaran ke Taiwan sebagai bagian ekspansi perusahaan ke pasar luar negeri setelah sebelumnya berhasil memasuki Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Australia, Belanda, Arab Saudi dan Amerika Serikat. eti | muli, red Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3501-pengusaha-jamu-jawa-pertama-di-indonesia Copyright © tokohindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih