Berikut ini adalah beberapa kaedah mendasar yang perlu diketahui oleh pedagang online
Pertama, pengertian akad jual beli
Terjadinya ijab qabul [deal kesepakatan] antara penjual dan pembeli untuk menjual dan membeli barang maka itulah transaksi jual beli meski uang atau barang belum diserahterimakan.
Kedua, ada barang atau ada uang
Akad atau transaksi jual beli yang dibolehkan dalam syariat Islam itu cuma ada tiga macam
1) ada uang ada barang
2) uang duluan barang belakangan
3) uang belakangan barang duluan.
Sehingga model transaksi uang belakangan barang juga belakangan, cuma akad atau transaksi duluan adalah suatu hal yang terlarang. Model transaksi semacam ini disebut dengan jual beli utang dengan utang. Transaksi ini dilarang dikarenakan tergolong bai' ma'dum bil ma'dum, jual beli atau tukar menukar sesuatu yang belum ada dengan yang sesuatu yang juga belum ada.
Ketiga, syarat menjual kembali barang hasil kulakan
Kita tidak diperkenankan menjual suatu barang sampai memenuhi dua kriteria,
1) kita telah memilikinya
2) kita telah melakukan serah terima dengan pemilik pertama.
Sehingga barang tersebut seratus persen telah menjadi tanggung jawab kita.
Ada tiga alasan mengapa menjual barang sebelum ada serah terima dengan pemilik pertama dilarang.
Pertama, menimbulkan ganjalan hati pada diri pemilik pertama. Hal ini terjadi manakala dia lihat kita bisa menjual kembali barang tersebut dengan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang dia dapatkan dalam kondisi barang masih ada di tempatnya.
Kedua, adanya keuntungan tanpa ada kemungkinan sedikit pun untuk merugi dan keuntungan semacam ini adalah suatu hal yang dilarang oleh Nabi.
Ketiga, ada unsur riba sebagaimana alasan yang disampaikan oleh Ibnu Abbas
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia benar-benar menakarnya.” Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas tentang mengapa hal tersebut dilarang. Jawaban Ibnu Abbas, “Yang demikian itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual uang dengan uang, sedangkan bahan makanannya ditunda (sekadar kedok belaka).” (HR Bukhari no 2025 dan Muslim no 3916).
Tentang maksud perkataan Ibnu Abbas ini, Dr Musthofa Dib Bugha mengatakan,
Keempat, barang yang dijual harus jelas identifikasinya
Diantara syarat sahnya transaksi jual beli adalah barang yang diperjualbelikan harus diketahui identifikasinya (ma'lum tidak majhul).
Terkait dengan hal ini jual beli bisa dibagi menjadi beberapa kategori:
Pertama, jual beli barang yang teridentifikasi dengan cara dilihat dan diamati. Hukumnya tentu saja boleh.
Kedua, jual beli barang yang diidentifaksi dengan deskripsi dan penggambaran (ba'I maushuf). Jual beli jenis ini bisa dibagi menjadi dua.
barang yang dimaksudkan barang tertentu yang sudah jelas. Jual beli semacam ini diperbolehkan dan ada hak khiyar (membatalkan transaksi atau meneruskannya) saat barang tersebut dilihat namun ternyata tidak sesuai dengan deskripsi yang telah diberikan oleh pembeli menurut pendapat yang paling kuat (tiga imam mazhab selain Syafii, Ta'liq Majid Hamawi untuk Matan Taqrib hal 154).
Barang yang dimaksudkan bukanlah barang tertentu namun barang yang memenuhi kriteria tertentu. Dengan kata lain yang dijual adalah kriteria barang. Transaksi semacam ini disebut transaksi salam dan hukumnya boleh selama syarat syaratnya terpenuhi dengan baik.
Ketiga, jual beli barang tertentu namun saat transaksi pembeli belum melihatnya juga belum mendapatkan deskripsi tentangnya namun ada hak khiyar saat pembeli telah melihat barang tersebut secara langsung. Jual beli semacam ini dilarang oleh Hanabilah dan Syafiiyyah namun diperbolehkan oleh Hanafiyah, Malikiyyah dan Ibnu Taimiyyah [Ighatsah al Jumu' bi Tarjihat Ibni Utsaimin fil Buyu' hal 80-81].
Insya allah pendapat yang kedua dalam hal ini adalah pendapat yang lebih kuat.
Kelima, syarat sah transaksi salam
Salam adalah transaksi jual beli uang duluan barang belakangan dan yang dijual adalah kriteria bukan barang tertentu.
Transaksi salam adalah transaksi yang sah manakala tujuh syaratnya terpenuhi:
barang yang dijual adalah barang yang jelas dengan sekedar deskripsi
barang dideskripsikan secara detail
disebutkan kadar barang (takaran, timbangan atau ukuran)
ada batas waktu yang jelas penyerahan barang
barang yang dipesan bukanlah barang yang langka di pasaran pada waktu yang dijanjikan
penjual menerima lunas uang pembayaran di majelis transaksi
objek transaksi adalah kriteria bukan barang tertentu [Fiqh wa Fatawa al Buyu' hal 419].
Keenam, syarat sah murabahah
Transaksi murabahah lil amir bis syira' atau yang tepat disebut dengan akad muwa'adah adalah janji calon pembeli untuk membeli suatu barang manakala barang tersebut telah menjadi milik penjual dan janji calon penjual untuk menjual suatu barang tertentu kepada calon pembeli manaka dia telah memiliki barang yang dimaksudkan.
Transaksi ini diperbolehkan dengan syarat:
Hendaknya praktek yang dilakukan terbebas dari adanya kewajiban untuk menunaikan akad - baik secara tertulis maupun lisan- antara kedua belah pihak sebelum barang dimiliki dan diserahterimakan kepada penjual kedua.
Pemesan terbebas dari kewajiban untuk menanggung kerugian apabila terjadi kerusakan pada barang.
Akad jual beli tidak boleh dilaksanakan kecuali setelah penjual memiliki barang tersebut dan barang tersebut telah berpindah tangan ke pihak penjual [Fiqh Nawazil jilid 2 karya Syaikh Bakr Abu Zaid].
Ketujuh, Tidak boleh jual beli emas secara online
Emas dan perak tidak boleh diperjualbelikan secara online karena syarat mutlak yang harus terpenuhi dalam tukar menukar emas atau perak dengan uang yaitu serah terima barang secara fisik di majelis transaksi dan ini adalah suatu hal yang tidak mungkin bisa diwujudkan dalam transaksi online.
Kedelapan, terdapat perbedaan ketentuan antara penjual yang sekaligus produsen, agen resmi, penjual yang memiliki barang dan penjual yang tidak memiliki barang alias sekedar jualan dengan katalog dan gambar.
Artikel www.PengusahaMuslim.com
: Ust. Aris Munandar, S.S., M.PI. •
* Materi ini disampaikan dalam acara Talk Show Bursamuslim.com bertajuk "Pengusaha Muslim Cerdas dalam Go Online, Peluang, Strategi, Syariah" yang diselenggarakan pada hari sabtu 3 November 2012 di Bolo Resto Jln Raya Kledokan, Catur Tunggal, Depok, Sleman, Jogjakarta.
Pertama, pengertian akad jual beli
Terjadinya ijab qabul [deal kesepakatan] antara penjual dan pembeli untuk menjual dan membeli barang maka itulah transaksi jual beli meski uang atau barang belum diserahterimakan.
Kedua, ada barang atau ada uang
Akad atau transaksi jual beli yang dibolehkan dalam syariat Islam itu cuma ada tiga macam
1) ada uang ada barang
2) uang duluan barang belakangan
3) uang belakangan barang duluan.
Sehingga model transaksi uang belakangan barang juga belakangan, cuma akad atau transaksi duluan adalah suatu hal yang terlarang. Model transaksi semacam ini disebut dengan jual beli utang dengan utang. Transaksi ini dilarang dikarenakan tergolong bai' ma'dum bil ma'dum, jual beli atau tukar menukar sesuatu yang belum ada dengan yang sesuatu yang juga belum ada.
وإنما ورد النهي عن بيع الكالىء بالكالىء والكالىء هو
المؤخر الذي لم يقبض كما لو أسلم شيئا في شيء في الذمة وكلاهما مؤخر فهذا
لا يجوز بالاتفاق
Ibnul Qayyim mengatakan, "Terdapat hadits yang melarang akad atau
transaksi kali' bil kali'. Yang dimaksud dengan kali' adalah sesuatu
yang tertunda, belum diserahterimakan. Contohnya adalah seorang yang
pesan barang dengan pembayaran yang tertunda artinya uang dan barang
sama sama belakangan. Ini adalah transaksi yang tidak diperbolehkan
dengan sepakat ulama" [I'lam Muwaqqi'in 2/8].Ketiga, syarat menjual kembali barang hasil kulakan
Kita tidak diperkenankan menjual suatu barang sampai memenuhi dua kriteria,
1) kita telah memilikinya
2) kita telah melakukan serah terima dengan pemilik pertama.
Sehingga barang tersebut seratus persen telah menjadi tanggung jawab kita.
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
سَلَفٍ وَبَيْعٍ وَعَنْ شَرْطَيْنِ فِي بَيْعٍ وَاحِدٍ وَعَنْ بَيْعِ مَا
لَيْسَ عِنْدَكَ وَعَنْ رِبْحِ مَا لَمْ يُضْمَنْ
Dari 'Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, Abdullah bin Amr bin
al Ash, Rasulullah melarang utang piutang yang bercampur dengan jual
beli, jual beli 'inah, menjual barang yang tidak dimiliki dan keuntungan
tanpa ada kemungkinan untuk rugi [HR Abu Daud dll, hasan shahih].
« مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ »
Nabi bersabda, "Siapa saja yang membeli makanan atau bahan makanan maka janganlah dia menjual kembali sampai ada qabdh"[HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar].
فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ
تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى تَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى
رِحَالِهِمْ.
Sesungguhnya Rasulullah melarang transaksi penjualan kembali barang
dagangan di tempat terjadinya kulakan hingga para padagang membawa
barang kulakannya ke kendaraan mereka masing masing [HR Abu Daud].Ada tiga alasan mengapa menjual barang sebelum ada serah terima dengan pemilik pertama dilarang.
Pertama, menimbulkan ganjalan hati pada diri pemilik pertama. Hal ini terjadi manakala dia lihat kita bisa menjual kembali barang tersebut dengan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang dia dapatkan dalam kondisi barang masih ada di tempatnya.
Kedua, adanya keuntungan tanpa ada kemungkinan sedikit pun untuk merugi dan keuntungan semacam ini adalah suatu hal yang dilarang oleh Nabi.
Ketiga, ada unsur riba sebagaimana alasan yang disampaikan oleh Ibnu Abbas
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى
يَكْتَالَهُ ». فَقُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَقَالَ أَلاَ تَرَاهُمْ
يَتَبَايَعُونَ بِالذَّهَبِ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia benar-benar menakarnya.” Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas tentang mengapa hal tersebut dilarang. Jawaban Ibnu Abbas, “Yang demikian itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual uang dengan uang, sedangkan bahan makanannya ditunda (sekadar kedok belaka).” (HR Bukhari no 2025 dan Muslim no 3916).
Tentang maksud perkataan Ibnu Abbas ini, Dr Musthofa Dib Bugha mengatakan,
تقديره أن يشتري من إنسان طعاما بدرهم إلى أجل فإذا باعه
منه أو من غيره بدرهمين مثلا قبل أن يقبضه فلا يجوز لأنه في التقدير بيع
درهم بدرهم والطعام غائب كأنه باعه درهمه الذي اشترى به الطعام بدرهمين وهو
ربا لا يجوز .
"Maksudnya ada seorang yang membeli bahan makanan dari A seharga satu
dirham namun uang pembayarannya nanti. Jika bahan makanan tersebut
dijual kembali dengan seharga dua dirham sebelum ada serah terima barang
dari A maka ini adalah suatu hal yang tidak diperbolehkan karena hal
tersebut semakna dengan transaksi uang ditukar dengan uang dan barang
makanan yang diperjualbelikan tidak ada. Seakan akan orang tersebut
menjual uang satu dirham yang dia pakai untuk membeli bahan makanan
dengan dua dirham dan ini adalah riba yang tentu saja tidak
diperbolehkan".Keempat, barang yang dijual harus jelas identifikasinya
Diantara syarat sahnya transaksi jual beli adalah barang yang diperjualbelikan harus diketahui identifikasinya (ma'lum tidak majhul).
Terkait dengan hal ini jual beli bisa dibagi menjadi beberapa kategori:
Pertama, jual beli barang yang teridentifikasi dengan cara dilihat dan diamati. Hukumnya tentu saja boleh.
Kedua, jual beli barang yang diidentifaksi dengan deskripsi dan penggambaran (ba'I maushuf). Jual beli jenis ini bisa dibagi menjadi dua.
barang yang dimaksudkan barang tertentu yang sudah jelas. Jual beli semacam ini diperbolehkan dan ada hak khiyar (membatalkan transaksi atau meneruskannya) saat barang tersebut dilihat namun ternyata tidak sesuai dengan deskripsi yang telah diberikan oleh pembeli menurut pendapat yang paling kuat (tiga imam mazhab selain Syafii, Ta'liq Majid Hamawi untuk Matan Taqrib hal 154).
Barang yang dimaksudkan bukanlah barang tertentu namun barang yang memenuhi kriteria tertentu. Dengan kata lain yang dijual adalah kriteria barang. Transaksi semacam ini disebut transaksi salam dan hukumnya boleh selama syarat syaratnya terpenuhi dengan baik.
Ketiga, jual beli barang tertentu namun saat transaksi pembeli belum melihatnya juga belum mendapatkan deskripsi tentangnya namun ada hak khiyar saat pembeli telah melihat barang tersebut secara langsung. Jual beli semacam ini dilarang oleh Hanabilah dan Syafiiyyah namun diperbolehkan oleh Hanafiyah, Malikiyyah dan Ibnu Taimiyyah [Ighatsah al Jumu' bi Tarjihat Ibni Utsaimin fil Buyu' hal 80-81].
أن عثمان وطلحة رضي الله عنهما تبايعا مالا بالكوفة فقال
عثمان لي الخيار لأني بعت ما لم أر وقال طلحة لي الخيار لأني إبتعت ما لم
أر فحكما رضي الله عنهما بينهما جبير بن مطعم فقضى الخيار لطلحة ولا خيار
لعثمان رضي الله عنه
"Utsman dan Thalhah memperjualbelikan sesuatu yang berada di Kufah.
Utsman mengatakan, 'Aku punya hak khiyar karena aku menjual sesuatu yang
belum aku lihat'. Thalhah mengatakan, 'Aku punya hak khiyar karena aku
membeli sesuatu yang belum aku lihat'. Mereka berdua lantas meminta
Jubair bin Muth'im sebagai penengah perselisihan yang terjadi diantara
keduanya. Jubair lantas memutuskan bahwa hak khiyar itu hanya dimiliki
oleh Thalhah dan tidak dipunyai oleh Utsman" [Syarh Ma'ani Atsar karya
Thahawi 4/361].Insya allah pendapat yang kedua dalam hal ini adalah pendapat yang lebih kuat.
Kelima, syarat sah transaksi salam
Salam adalah transaksi jual beli uang duluan barang belakangan dan yang dijual adalah kriteria bukan barang tertentu.
Transaksi salam adalah transaksi yang sah manakala tujuh syaratnya terpenuhi:
barang yang dijual adalah barang yang jelas dengan sekedar deskripsi
barang dideskripsikan secara detail
disebutkan kadar barang (takaran, timbangan atau ukuran)
ada batas waktu yang jelas penyerahan barang
barang yang dipesan bukanlah barang yang langka di pasaran pada waktu yang dijanjikan
penjual menerima lunas uang pembayaran di majelis transaksi
objek transaksi adalah kriteria bukan barang tertentu [Fiqh wa Fatawa al Buyu' hal 419].
Keenam, syarat sah murabahah
Transaksi murabahah lil amir bis syira' atau yang tepat disebut dengan akad muwa'adah adalah janji calon pembeli untuk membeli suatu barang manakala barang tersebut telah menjadi milik penjual dan janji calon penjual untuk menjual suatu barang tertentu kepada calon pembeli manaka dia telah memiliki barang yang dimaksudkan.
Transaksi ini diperbolehkan dengan syarat:
Hendaknya praktek yang dilakukan terbebas dari adanya kewajiban untuk menunaikan akad - baik secara tertulis maupun lisan- antara kedua belah pihak sebelum barang dimiliki dan diserahterimakan kepada penjual kedua.
Pemesan terbebas dari kewajiban untuk menanggung kerugian apabila terjadi kerusakan pada barang.
Akad jual beli tidak boleh dilaksanakan kecuali setelah penjual memiliki barang tersebut dan barang tersebut telah berpindah tangan ke pihak penjual [Fiqh Nawazil jilid 2 karya Syaikh Bakr Abu Zaid].
Ketujuh, Tidak boleh jual beli emas secara online
Emas dan perak tidak boleh diperjualbelikan secara online karena syarat mutlak yang harus terpenuhi dalam tukar menukar emas atau perak dengan uang yaitu serah terima barang secara fisik di majelis transaksi dan ini adalah suatu hal yang tidak mungkin bisa diwujudkan dalam transaksi online.
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ
بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ
بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ
يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ
شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ ».
Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah bersabda, "Jika emas ditukar
dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum halus ditukar dengan
gandum halus, gandum syair ditukar dengan gandum syair, korma ditukar
dengan korma, garam ditukar dengan garam maka timbangan atau takarannya
harus sama dan serah terima terjadi di majelis transaksi. Namun jika
benda ribawi yang dipertukarkan itu berbeda maka silahkan tukarkan
sesuka anda (takaran atau timbangan boleh beda) namun serah terima harus
terjadi di majelis transaksi" [HR Muslim no 4147].Kedelapan, terdapat perbedaan ketentuan antara penjual yang sekaligus produsen, agen resmi, penjual yang memiliki barang dan penjual yang tidak memiliki barang alias sekedar jualan dengan katalog dan gambar.
Artikel www.PengusahaMuslim.com
: Ust. Aris Munandar, S.S., M.PI. •
* Materi ini disampaikan dalam acara Talk Show Bursamuslim.com bertajuk "Pengusaha Muslim Cerdas dalam Go Online, Peluang, Strategi, Syariah" yang diselenggarakan pada hari sabtu 3 November 2012 di Bolo Resto Jln Raya Kledokan, Catur Tunggal, Depok, Sleman, Jogjakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih