Jumat, 27 Mei 2016

Hukum Menyewakan Rumah kepada Non Muslim

Menyewakan Rumah kepada Non Muslim

Ustadz, apa hukumnya menyewakan rumah kepada orang non muslim?
Karena ada kemungkinan kan mereka minum khamr di rumah yg kita sewakan dan memasak makanan non halal..

Jawab:
Dalam interaksi bermuamalah, ada 2 pertimbangan yang perlu diperhatikan,
Pertama, pertimbangan masalah halal-haram.
Kedua, pertimbangan terkait maslahat
Kita simak lebih dekat,


Pertama, pertimbangan masalah halal-haram.
Transaksi sewa-menyewa dibolehkan, selama ketika akad dipastikan terjadi dua hal,
[1] Barang yang disewakan manfaatnya mubah
Ibnu Qudamah mengatakan,
وجملة ذلك إن من شرط صحة الاجارة أن تكون المنفعة مباحة فان كانت محرمة كالزنا والزمر والنوح والغناء لم يجز الاستئجار لفعله وبه قال مالك والشافعي وأبو حنيفة وصاحباه وأبو ثور
Kesimpulannya bahwa diantara syarat sah sewa-menyewa, sesuatu yang disewakan manfaatnya mubah. Jika manfaatnya haram, seperti zina, alat musik, meratap mayit, atau nyanyian, maka tidak boleh disewakan. Ini adalah pendapat Malik, as-Syafi’i, Abu Haifah, berikut dua muridnya, dan Abu Tsaur. (as-Syarhul al-Kabir, 6/28).
[2] Tidak ada bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam dosa dan maksiat secara langsung.
Allah berfirman,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan tindakan melampaui batas.” (QS. al-Maidah: 2)
Yang menjadi acuan adalah tujuan penggunaan si penyewa, untuk apa dia sewa rumah itu?
Selama digunakan untuk hal yang mubah, dibolehkan. Dan bukan tanggung jawab si pemilik rumah, jika penyewa melakukan maksiat di rumah itu, seperti minum khamr atau makan babi atau bahkan beribadah di rumah. Karena pemilik menyewakannya untuk ditempati, dan itu perkara mubah, bukan untuk digunakan maksiat.
Semua manusia tidak mungkin bisa lepas dari maksiat, tak terkecuali seorang muslim. Terlebih ahli maksiat. Ketika mereka menyewa rumah kita, bisa dipastikan ada kemungkinan dia berbuat maksiat di rumah itu. Namun dosa penyewa, di luar tanggung jawab pemilik rumah.
As-Sarkhasi mengatakan,
ولا بأس بأن يؤاجر المسلم دارا من الذمي ليسكنها ، فإن شرب فيها الخمر أو عبد فيها الصليب أو أدخل فيها الخنازير لم يلحق المسلم إثم في شيء من ذلك ، لأنه لم يؤاجرها لذلك ، والمعصية في فعل المستأجر ، فلا إثم على رب الدار في ذلك
Seorang muslim boleh menyewakan rumah kepada orang kafir dzimmi untuk tempat tinggal. Jika di rumah itu dia minum khamr, menyembah salib, atau membawa babi, si muslim tidak turut mendapat dosanya sama sekali. Karena dia tidak menyewakan rumah untuk itu. Sementara tindakan maksiat yang dilakukan penyewa, di luar tanggung jawab pemilik rumah. (al-Mabsuth, 16/39)
Jika dalam akad dinyatakan bahwa barang akan digunakan hal yang mubah, kemudian di-salah gunakan oleh penyewa, penyalah-gunaan ini di luar tanggung jawab pemilik rumah.
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,
إذا استأجر ذمي دارا من مسلم على أنه سيتخذها كنيسة أو حانوتا لبيع الخمر ، فالجمهور (المالكية والشافعية والحنابلة وأصحاب أبي حنيفة) على أن الإجارة فاسدة ، لأنها على معصية . أما إذا استأجر الذمي دارا للسكنى مثلا ، ثم اتخذها كنيسة ، أو معبدا عاما ، فالإجارة انعقدت بلا خلاف . ولمالك الدار ، وللمسلم عامة ، منعه حِسْبة
Jika ada orang kafir menyewa rumah dari muslim untuk dijadikan gereja atau toko jual khamr, menurut jumhur (Malikiyah, Syafiiyah, Hambali, dan muridnya Abu Hanifah) bahwa sewa-menyewa ini fasid (batal). Karena tolong-menolong untuk maksiat. Namun jika orang kafir menyewa rumah untuk tempat tinggal, kemudian dia salah gunakan dengan dijadikan gereja, atau tempat peribadatan umum, sewa-menyewa tetap sah dengan sepakat ulama. Sementara pemiliknya atau kaum muslimin yang lain punya tanggung untuk melarangnya dalam rangka amar makruf nahi munkar. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 1/286)
Bahkan sebagian ulama lebih suka menyewakan rumahnya ke non muslim, sehingga mereka bisa ditekan, terutama saat penagihan bayaran nilai sewa.
Ibnul Qoyim menyebutkan dialog antara murid Imam Ahmad,
قيل لأبي عبدالله الرجل يكري منزله من الذمي ينزل فيه وهو يعلم أنه يشرب فيه الخمر ويشرك فيه فقال ابن عون كان لا يكري إلا من أهل الذمة يقول يرعبهم قيل له كأنه أراد إذلال أهل الذمة بهذا قال لا ولكنه أراد أنه كره أن يرعب المسلمين يقول إذا جئته أطلب الكراء من المسلم أرعبته فإذا كان ذميا كان أهون عنده
Imam Ahmad pernah ditanya mengenai orang yang menyewakan rumahnya untuk tempat tinggal orang kafir. Sementara dia tahu orang kafir ini akan minum khamr dan berbuat syirik di rumah itu.
Ibnu Aun menjawab, selayaknya tidak disewakan kecuali untuk orang kafir.
Ibnu Aun ditanya, apakah beliau ingin merendahkan kafir dzimmi dengan cara seperti ini?
“Tidak, namun beliau tidak suka menagih dari orang muslim.” Jawab Ibnu Aun.
Beliau (Ahmad) mengatakan, “Jika saya datang minta bayaran sewa dari muslim, berarti saya menagihnya. Sementara untuk mengih kafir dzimmi lebih ringan.” (Ahkam Ahli Dzimmah, 1/578).
Kedua, pertimbangan terkait maslahat
Pertimbangan ini bisa jadi tidak ada hubungannya dengan masalah halal-haram transaksi. Namun lebih kembali kepada masalah moral atau menjaga nama baik.
Bisa jadi secara pertimbangan, kita boleh menyewakan rumah kepada orang kafir, namun tetangga kita tidak nyaman. Atau dikhawatirkan dia membuat keributan, mengundang kawan-kawannya melakukan pesta mabuk-mabukkan.
Beberapa pengalaman di jogja, ada orang yang menyewakan rumah kontrakan untuk mahasiswa non muslim dari Indonesia timur. Yang menyewa orangnya nampaknya baik, tapi yang bermasalah kawannya. Terkadang malam-malam bergadangan pesta miras. Dan ini sangat meresahkan semua tetangga yang berada di sekitarnya.
Lain halnya ketika penyewa bisa dikendalikan. Dampak buruknya lebih ringan.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com dan PengusahaMuslim.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih