Jumat, 28 Desember 2012

Dropshipping dan Alternatif Transaksi yang Halal

Bismillah was shalatu was salamu 'ala rasulillah, wa ba'du,
Dengan adanya kemudahan internet, berbondong-bondong para netter memindahkan aktivitas mereka di dunia nyata ke dunia maya. Diantaranya adalah bisnis online. Dropshipping, menjadi salah satu pilihan sistem bisnis online yang banyak dilakoni para netter. Ya, dengan internet, semua bisa jadi uang.
Sebagai hamba yang beriman, tentu kita tidak akan menelan semua sistem yang berlaku di masyarakat secara mentah-mentah. Kita sepakat, tidak semua praktek bisnis yang tersebar di masyarakat, telah memenuhi standar halal secara syariat. Karena itu, sangat penting, ketika anda hendak melakoni suatu sistem bisnis tertentu, terlebih dahulu anda harus memahami hakekatnya dan hukumnya.

Apa itu Dropship?

Dropshipping diyakini sebagai model jual beli yang paling mudah dalam dunia online. Pasalnya, bisnis ini bisa dilakoni nyaris tanpa modal. Wajar jika sistem ini paling banyak digandrungi para netter. Barangkali artikel ini tidak akan panjang lebar untuk membahas apa itu dropshipping, kami yakin pembaca sudah lebih familier dengan sistem ini.
Kita fokuskan pada skema dropshipping berikut,




Ada 3 pihak yang terlibat dalam transaksi di atas,
1. Dropshipper
Dia adalah pihak pemilik barang, baik produsen, toko, maupun agen barang.
2. Reseller
Penjual online yang menawarkan barang orang lain kepada para konsumen.
3. Buyer

Konsumen yang membeli barang dari buyer.
Sebelumnya, ada satu istilah yang mungkin perlu diluruskan terkait siapakah dropshipper. Yang lebih tepat, dropshipper bukanlah pelaku bisnis online yang menawarkan barang ke konsumen. Beberapa situs berbahasa inggris yang mengupas tentang dropshipping menegaskan bahwa dropshipper adalah pemilik barang, baik dia produsen, toko, atau agen. Sedangkan pihak yang menawarkan barang itu adalah reseller.
Selanjutnya, kita akan kembali meninjau sistem di atas.

Dari ketiga aktor di atas, pihak yang menyimpan tanda tanya besar adalah reseller. Ada beberapa catatan penting dari aktivitas reseller:
1. Reseller menjual barang kepada orang lain, tanpa memiliki obyek transaksi itu. Karena barang itu murni milik dropshipper.
2. Reseller sama sekali tidak memegang barang tersebut. Barang langsung dikirim ke buyer, sementara reseller sama sekali tidak berurusan barang tersebut.
3. Dropshipper mengirim barang ke buyer atas nama reseller.
4. Reseller bukan agen dari pemilik barang. Bukti bahwa reseller bukan agen:
  • Untuk menjadi reseller, anda tidak perlu mendaftar untuk menjadi agen.
  • Reseller bisa menjualkan barang dari berbagai klien dropshipper yang berbeda tanpa ada batas.
  • Reseller menetapkan harga sendiri, dengan keuntungan tertentu sesuai yang dia inginkan.
Dari beberapa catatan di atas, kita bisa memastikan bahwa sejatinya reseller dalam hal ini telah menjual barang yang tidak dia miliki. Setelah ada permintaan, reseller hanya memesan ke dropshipper untuk mengirim barang ke buyer. Otomatis segala resiko selama proses pengiriman menjadi tanggung jawab dropshipper. Dus, reseller berada di posisi sangat aman, hanya mungkin mendapatkan keuntungan dan nyaris tidak menanggung kerugian sepeserpun, selain tanggung jawab moral kepada konsumen.

Mau Untung, Harus Nanggung Rugi

Terdapat satu kaidah penting terkait transaksi dalam muamalah. Kaidah itu menyatakan,
إنما الخراج بالضمان
Sesungguhnya keuntungan yang diperoleh seseorang, sebanding dengan kerugian yang ditanggung.
Kaidah ini berdasarkan hadis dari A'isyah radhiyallahu 'anha, bahwa ada seorang sahabat yang membeli budak. Setelah beberapa hari dipekerjakan, dia menemukan aib pada si budak. Kemudian, si pembeli mengembalikan kepada penjual. Si penjual menerima, namun si pembeli harus menyerahkan sejumlah uang senilai harga sewa budak selama di tangan pembeli. Akhirnya mereka meminta keputusan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda:
الخراج بالضمان
"Keuntungan itu sepadan dengan kerugian yang ditanggung." (HR. Ahmad, Nasai, Abu Daud, Turmudzi dan dihasankan Al-Albani).

Mari kita perhatikan hadis di atas,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menggugurkan kewajiban si pembeli untuk membayar biaya sewa budak selama dia pekerjakan. Karena ketika si budak ini berada di tangan pembeli, dia menjadi tanggung jawab pembeli. Andaikan budak ini mati, pembeli akan menanggung kerugian. Untuk itu, si pembeli berhak mendapatkan keuntungan dalam bentuk memperkajan budak itu selama dia di tempatnya.
Kaidah ini berlaku untuk semua transaksi dan hubungan antara seseorang dengan sesama. Syariat tidak mengizinkan ada satu posisi yang hanya mungkin menerima untung saja, tanpa sedikitpun menanggung resiko ketika terjadi kerugian. Jika ada transaksi sementara prinsipnya hanya mungkin menerima untung tanpa menanggung resiko rugi, bisa dipastikan transaksi itu bermasalah.
Karena itulah, syariat mengharamkan transaksi riba. Seperti yang kita saksikan, dalam transaksi riba, kreditor dalam posisi sangat aman, dia hanya mungkin mendapatkan keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian.
Sebaliknya, syariah membolehkan transaksi bagi hasil atau mudharabah. Karena dalam transaksi ini, sohibul mal (pemilik modal) menanggung resiko rugi ketika usaha yang dijalankan mudharib (pelaku usaha) mengalami kerugian. Anda juga bisa memberi catatan kebalikannya, jika ada transaksi mudharabah, sementara sohibul mal minta agar modal dikembalikan ketika usaha gagal, maka ini termasuk riba dan kesepakatan terlarang, karena sohibul mal pasti dalam posisi aman dan hanya mungkin mendapatkan keuntungan.

Kita kembali pada kasus dropship. Dalam sistem di atas, reseller berada pada zona 100% aman. Dia sama sekali tidak menanggung resiko kerugian. Karena tanggung jawab teradap barang, menjadi resiko dropshipper selaku pengirim barang atas nama reseller. Anehnya, dalam kesempatan yang sama, reseller mendapatkan keuntungan dari transaksi yang dia lakukan. Dengan menimbang kaidah di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa keuntungan reseller dalam hal ini bermasalah.

Menjual Barang yang Tidak Dimiliki

Diantara aturan syariah lain yang menjadikan sistem ini bermasalah adalah hadis yang melarang menjual barang yang tidak dia miliki.
Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu, beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Ada orang yang datang kepadaku dan meminta agar aku mendatangkan barang yang tidak aku miliki. Bolehkah saya beli barang ke pasar, kemudian saya jual ke orang ini?" kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
"Janganlah kamu menjual barang yang bukan milikmu." (HR. Ahmad, Nasai, Abu Daud, Turmudzi, Ibn Majah, dan dishahihkan Al-Albani).
Kemudian dari Thawus, beliau mendapat cerita dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ طَعَامًا حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang seseorang menjual makanan sampai dia terima semua makanan itu dari penjual pertama.
Thawus kemudian bertanya kepada Ibnu Abbas, "Mengapa bisa demikian?"
Jawab Ibnu Abbas,
ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ
Yang terjadi adalah menjual uang dengan uang, sementara makanannya tertunda. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam keterangan yang lain, Ibnu Abbas menegaskan,
وَلاَ أَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا مِثْلَهُ
"Saya yakin semua barang berlaku seperti itu." (HR. Ahmad dan Bukhari).

Artinya, itu tidak hanya berlaku untuk makanan, namun untuk semua barang dagangan.
Mari kita simak hadis diatas dan keterangan Ibnu Abbas. Orang yang menjual barang yang belum dia miliki dilarang secara syariat, karena hakekatnya dia menjual uang dengan uang. Ibnu Hajar membuat ilustrasi sebagai berikut,
Si A membeli dari si X kamera seharga 3 jt. Sebelum dia menerimanya, si A menjual kamera itu kepada si B seharga 4 jt, sementara kamera masih di tangan si X. Yang terjadi, seolah-olah si A menjual uang 3 juta dengan uang 4 juta. (Simak Fathul Bari, 4/349).
Kita tarik kepada kasus dropshipper di atas. Reseller pada posisi tersebut membeli barang ke dropshipper, setelah dia mendapat pesanan dari buyer. Barang sama sekali tidak disentuh oleh reseller, bahkan melihatpun tidak. Reseller membeli barang senilai 100 rb misalnya, dan dia mendapat uang senilai 120 rb dari buyer. Seolah reseller menjual uang 100 rb dengan 120 rb. Demikian pendekatan kasus dropshipping dengan hadis di atas.
Andaipun reseller mendatangi dropshipper, dan dia ingin menjual barang milik dropshipper ke buyer, dia harus membawa barang itu pulang terlebih dahulu, kemudian baru dia kirim ke buyer. Disamping hadis Ibnu Abbas di atas, dalil lain yang menunjukkan kesimpulan ini adalah hadis Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رحالهم
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual barang di tempat dia membeli barang tersebut, sampai para pedagang memindahkan barang itu ke tempatnya. (HR. Abu Daud, Ibn Hibban dan dihasankan Al-Albani)

Solusi dan Alternatif

Anda para aktivis bisnis online tidak perlu berkecil hati. Jika anda tidak bisa menggunakan sistem dropshipping, masih ada seribu cara untuk mencari uang melalui internet dengan jalan yang halal tanpa harus keluar banyak modal. Berikut beberapa alternatif bisnis online modal tipis yang bisa anda lakukan,
Pertama, pemberi layanan pengadaan barang
Relasi yang luas atau kemampuan pengadaan barang yang memadai, memungkinkan Anda menawarkan jasa ke orang lain untuk pengadaan barang yang mereka butuhkan. Anda berhak meminta imbalan, dengan nominal yang jelas dan disepakati di awal akad. Misal, Anda menjadi supplier restoran tertentu untuk kebutuhan barang tertentu. Anda berhak mendapat upah dari restoran tersebut. Pada kasus ini, anda murni menjual jasa kepada klien anda.
Kedua, menjadi agen atau distributor resmi
Pada posisi ini, anda layaknya tangan panjang pemilik barang atau produsen. Karena secara prinsip status anda adalah wakil bagi pemilik barang. Anda bisa melakukan transaksi dengan cara apapun, baik offline atau online, sebagaimana Anda juga dibenarkan untuk menjualnya secara tunai atau secara kredit dengan harga yang Anda tentukan atau sesuai kesepakatan.
Tentu saja, untuk bisa menjadi agen, anda harus melalui beberapa tahapan sesuai dengan aturan keagenan yang ditetapkan oleh pemilik barang.
Dalil masalah ini adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
المُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ
Kaum muslimin itu sesuai persyaratan yang mereka sepakati. (HR. Bukhari secara muallaq, Abu Daud, Ahmad dan yang lainnya).

Ketiga, lakukan transaksi salam
Perniagaan dengan skema akad salam merupakan kebalikan akad kredit. Jika pada akad kredit, barang diserahkan lebih dulu dan uang menyusul, pada transaksi salam, uang diberikan terlebih dahulu, sementara barang menyusul.
Ibnu Abbas mengatakan,
أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى أن الله أحله وأذن فيه، ثم قرأ: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى }
Saya bersaksi bahwa jual beli salam yang dijamin sampai batas waktu tertentu adalah akad yang Allah halalkan dan Allah izinkan. Kemudian Ibnu Abbas membaca ayat, yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian melakukan transaksi utang sampai batas waktu tertentu maka catatlah…" (HR. At-Thabari dalam tafsirnya, 6/45).
Sementara dalil dari hadis, bahwa Ibnu Abi Aufa radhiyallahu 'anhu menceritakan,
كُنَّا نُسْلِفُ نَبِيطَ أَهْلِ الشَّأْمِ فِي الحِنْطَةِ، وَالشَّعِيرِ، وَالزَّيْتِ، فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Dahulu di masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kami memesan gandum, sya’ir (gandum mutu rendah), dan minyak zaitun, dengan ukuran yang jelas dan tempo penyerahan yang disepakati dari para pedagang Negeri Syam. (HR. Al-Bukhari)

Berdasarkan beberapa riwayat di atas, yang perlu anda perhatikan, ketika anda hendak melakukan transaksi salam, uang harus dibayar tunai dan waktu penyerahan barang harus jelas di depan.
Mungkin ada yang mempertanyakan, apa bedanya dengan sistem dropshipping yang lazim dilakukan?
Pada transaksi salam, pelaku bisnis (reseller) harus membeli obyek transaksi itu dari pemilik barang secara sempurna, sampai terjadi serah terima. Artinya barang sudah berpindah tangan ke pihak reseller. Kemudian barulah reseller sendiri yang mengirim barang ke buyer atas nama dirinya. Dalil hal ini adalah hadis dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رحالهم
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual barang di tempat dia membeli barang tersebut, sampai para pedagang memindahkan barang itu ke tempatnya. (HR. Abu Daud, Ibn Hibban dan dihasankan Al-Albani)

Tidak dibenarkan hanya uang muka
Bagian tak terpisahkan dalam bisnis online adalah barang yang menjadi obyek transaksi hanya bisa diserah-terimakan setelah selang beberapa waktu. Karena itu, ketika pembeli hanya memberikan uang muka kepada penjual online, yang terjadi adalah transaksi yang sama-sama terutang. Sementara secara hukum, transaksi ini termasuk transaksi bermasalah.
Dalil hal ini adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ - وَهُوَ بَيْعُ الدَّيْنِ بِالدَّيْنِ -
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang melakukan transaksi al-kali' – yaitu jual beli utang dengan utang. (HR. Abdurrazaq 14440).
Meskipun ada sebagian ulama menilai hadis ini tidak shahih, namun mereka sepakat bahwa jual beli utang dengan terutang adalah terlarang.
Diantara ulama yang menilai lemah hadis masalah ini adalah Imam Ahmad bin Hambal, karena dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Musa bin Ubaidah. Berikut kutipan keterangan beliau,
ولا يحل الرواية عن موسى بن عبيدة ولا أعرف هذا الحديث من غير موسى وليس في هذا حديث صحيح وانما اجماع الناس على أنه لا يجوز دين بدين
Tidak halal menerima riwayat dari Musa bin Ubaid. Saya tidak mengetahui hadis semacam ini dari selain Musa. Dan tidak ada hadis sahih satu pun tentang larangan menjual utang dengan utang, akan tetapi kesepakatan ulama telah bulat bahwa tidak boleh memperjual-belikan utang dengan utang.” (Al-Ilal Al-Mutanahiyah, 3/600)
Allahu a'lam
Oleh: ustadz Ammi Nur Baits
Artikel www.PengusahaMuslim.com
----------
NB: Untuk mengajukan pertanyaan dan terhubung dengan dewan redaksi kami sarankan lansung ke email: tanya@konsultasisyariah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih